Keluarga, Pendidikan Pertama Anak


Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2010, lebih dari 1300 suku bangsa tersebar di seluruh nusantara, dan melahirkan berbagai adat istiadat serta kebudayaan dengan ciri khasnya masing – masing. Dari sekian banyak suku bangsa yang ada, setidaknya 41 % lebih penduduk di negara Indonesia merupakan etnis Jawa. Suku bangsa terbesar, yang tinggal di beberapa provinsi seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogjakarta. Selain hampir menyebar ke seluruh nusantara, etnis Jawa begitu sangat dikenal di negara Suriname dan Afrika Selatan. Sebagai orang yang berasal dari suku Jawa memang tidak mudah untuk berusaha mempertahankan budaya Jawa di era kekinian. Perkembangan teknologi dunia yang begitu pesatnya harus diakui telah membawa budaya – budaya merk impor masuk tanpa sekat. Mudahnya mengakses informasi dari seluruh penjuru dunia melalui kecanggihan Smartphone membuat seseorang bisa belajar banyak dengan hanya berdiam diri di rumah. Generasi muda kemudian menganggap budaya baru lebih sesuai dengan gaya hidup mereka dan menganggap budayanya yang asli terasa kuno alias ketinggalan jaman.

Dalam kehidupan sehari – hari, budaya Jawa memang sangat mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian . Budaya orang – orang Jawa juga sangat menjunjung tinggi kesopanan serta kesederhanaan dalam bersikap. Keramahan, sabar, tepo seliro (bahasa Indonesia : tenggang rasa), gotong royong, merupakan ciri khas suku yang banyak menciptakan hasil budaya luar biasa. Sebut saja seperti keris, batik sampai seni wayang kulit yang namanya terkenal sampai ke kancah dunia . Saya merasa sangat bangga sebagai orang yang terlahir dari suku Jawa. Mulai dari kecil saya telah dididik dan diajarkan untuk selalu menerapkan perilaku sesuai dengan norma – norma adat istiadat Jawa. Dan akhirnya saya sadar bahwa ternyata pola – pola perilaku yang terbentuk tersebut sangat dibutuhkan di dalam berinteraksi sosial di era kekinian. Dan ketika saya sudah memiliki keluarga kecil sendiri, saya juga tetap menerapkan dan mengajarkan kepada anak saya untuk tetap memegang pentingnya dalam bertata krama.

Lembaga pendidikan formal atau sekolah sering kali disebut – sebut sebagai tempat untuk membentuk karakter dan pola perilaku seseorang. Tidak bisa dipungkiri waktu atau jam pembelajaran di sekolah yang sangat terbatas, proses pembentukan belum berjalan maksimal, untuk itu sangat diperlukan sinergi yang baik antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Seperti yang ditulis di artikel https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4752 bahwa sumber kekuatan dunia pendidikan dan kebudayaan adalah orang tua, guru di sekolah, serta peran serta masyarakat dalam memberikan lingkungan yang baik.

Membangun Karakter Dari Lingkungan Keluarga
Dalam tradisi keluarga di suku Jawa ada yang dikenal dengan istilah toto kromo (tata krama) dimana ada sebuah aturan yang tidak bisa ditoleransi. Aturan ini telah mengakar dalam tradisi yang mengatur segala tindak tanduk, tingkah laku antara seseorang dengan orang lainnya. 

Mulai dari cara berbicara atau berbahasa, di dalam sastra Jawa ada beberapa tingkatan bahasa yaitu bahasa Ngoko, bahasa Krama Madya, dan bahasa Krama Alus. Sedikit gambaran bahasa Ngoko biasanya digunakan kepada seseorang dengan derajat atau tingkatan di bawah kita misalnya adik atau orang dengan usia lebih muda dari kita. Bahasa Krama Madya digunakan untuk seseorang derajat sama misalkan dengan teman kerja, teman dengan usia sama. Sedangkat yang lebih tinggi tingkatannya adalah menggunakan Krama Inggil dimana bahasa ini biasanya digunakan untuk orang yang memiliki derajat atau usia lebih tinggi dari kita. Atau orang yang kita hormati seperti kakak, orang tua, guru dan lain lain.
 
Selain dalam berbahasa, masyarakat Jawa juga dikenal memiliki aturan tersendiri dalam menjaga etika dan sopan santun kepada siapapun terutama kepada orang yang lebih tua secara usia. Kita terbiasa merundukkan badan ketika berjalan di depan orang tua atau mencium tangan ketika bersalaman, merupakan wujud penghormatan serta menjaga tata krama. Sikap tersebut sebagai gambaran bahwa menghormati kepada orang yang lebih dituakan merupakan suatu keharusan sesuai dengan adat istiadat dan budaya Jawa.

Untuk itu, lingkungan keluarga yang merupakan tempat pertama kali seseorang mengenal tentang aturan dan norma, maka sebagai orang tua haruslah mampu memberikan edukasi dan contoh yang baik kepada anggota keluarga. Menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam percakapan sehari – hari, sangatlah penting sebagai bentuk apreasi terhadap hasil budaya luhur berupa bahasa. Bukan berarti mengesampingkan bahasa Indonesia yang telah ditetapkan sebagai bahasa nasional. Akan tetapi mendalami dan memaknai setiap bahasa daerah yang digunakan, akan membetuk karakter seseorang lebih baik, supaya tidak lepas kendali mengikuti arus budaya luar yang belum tentu sesuai dengan karakter bangsa. Masing – masing keluarga Indonesia seharusnya mampu menjadi pusat belajar anggota keluarga untuk tetap mengenali dan menjadi diri sendiri. 

Seringkali kesibukan pekerjaan telah menghambat proses pembentukan karakter ini, karena antara orang tua dan anak jarang sekali untuk saling berkomunikasi, belajar bersama, dan berdiskusi. Akibatnya proses pembentukan tersebut tidak berjalan baik, banyak anak – anak muda yang tidak memiliki sopan santun dengan orang yang dituakan. Mereka cenderung apatis untuk mau belajar budayanya yang terkesan ribet, terlalu banyak aturan dan kolot. Inilah yang kemudian membuat seseorang kehilangan identitas dirinya atau istilah Jawa “ilang Jowone”.

Bersahabat Dengan Teknologi
Laju perkembangan teknologi telah membawa kita di era kekinian atau bahasa kerennya disebut “jaman now”.  Dimana seseorang sangat dekat dengan berbagai produk – produk terbarukan dalam hal informasi dan komunikasi. Media sosial (medsos) telah merubah pola interaksi sosial masyarakat. Dari yang manual ke era digital, dari yang kita bisa ngobrol, diskusi, bertatap muka langsung, sekarang sudah bisa dilakukan hanya dengan mengetik di laman komentar atau dengan fitur chatting. 

Media sosial telah memberi peluang besar kepada anak – anak  untuk menjelajah mengenal dunia, tak terkecuali budaya bangsa lain. Keasyikan berselancar di dunia maya telah membuat sebagian besar dari mereka  berpeluang untuk menjadi pribadi yang tertutup, cuek dan sulit untuk berbaur dengan lingkungan masyarakat. Isu – isu dan konten negatif media sosial memperparah pola pikir penggunanya sehingga mereka cenderung egois, baper, suka membully dan memperbesar kesalahpahaman akan informasi (hoax). Hilangnya karakter budaya bangsa ditandai dengan tidak adanya etika dalam berkomentar, tidak ada lagi tata krama dan sopan santun dalam menyikapi setiap informasi yang masuk. Dan sebenarnya inilah yang disebut dengan situasi generasi yang kebabalasan.

Budaya atau adat istadat suku bangsa sendiri yang di dalamnya terdapat nilai pendidikan yang baik terkadang dipandang tidak perlu di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini. Kita harus mulai memahami bahwa kita adalah bangsa Indonesia yang memilki kepribadian dan karakter sendiri. Selain dibekali pendidikan agama, pendidikan karakter tersebut seharusnya sudah mulai dibangun dari lingkungan keluarga. Orang tua yaitu ayah dan ibu harus memberikan keteladanan dalam hal bersikap dan berperilaku. Keluarga yang membiasakan diri dengan pendekatakan – pendekatan emosional yang baik akan membentuk anggota keluarga terutama anak – anaknya menjadi pribadi baik pula. 

Kemajuan teknologi tidak perlu untuk dihindari kehadirannya, yang terpenting adalah bagaimana sebuah keluarga mampu merespon dengan cepat. Memberikan berbagai pemahaman dan edukasi tentang teknologi di era kekinian yang sebenarnya memiliki manfaat lebih besar. Anak – anak boleh saja bersentuhan langsung dengan teknologi asalkan mereka tahu bahwa hal tersebut bukan merupakan satu – satunya kebutuhan. Teknologi hanyalah salah satu alat untuk memudahkan kita berinteraksi sosial, berkomunikasi, akses informasi serta edukasi asalkan kita bisa lebih bijak dalam penggunaannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar